GANGGUAN MAKAN,
OBESITAS, DAN GANGGUAN TIDUR
A.
GANGGUAN MAKAN
Gangguan
makan adalah gangguan yang memiliki karakteristik pola makan yang terganggu dan
cara yang maladaptif dalam mengontrol berat badan. Pola disfungsional dalam
gangguan makan ini memiliki dua tipe utama, yaitu:
1. Anoreksia
Nervosa
Anoreksia
nevrosa memiliki arti yaitu tidak memiliki hasrat untuk makan yang sesungguhnya
merupakan suatu hal yang keliru, karena kehilangan nafsu makan di antara
penderita anoreksia nervosa itu jarang sekali terjadi. Akan tetapi, penderita
mungkin menolak makan lebih dari yang dibutuhkan untuk mempertahankan berat
badan yang minimal sesuai dengan tinggi badan dan usia mereka. Mereka sering
melaparkan diri mereka hingga pada suatu titik yang membahayakan. Anoreksia
nervosa berkembang pada tahap remaja awal dan akhir, berkisar pada usia 12
sampai 18 tahun. Berikut ini adalah beberapa karakteristik diagnostik dari
anoreksia nervosa, antara lain:
a. Menolak
untuk mempertahankan berat badan pada atau di atas berat badan minimal yang
normal sesuai dengan usia dan tinggi seseorang,
b. Ketakutan
yang kuat terhadap penambahan berat badan atau menjadi gemuk,
c. Citra
tubuh yang terdistorsi dimana tubuh seseorang atau bagian tubuh seseorang
dipandang gemuk, walaupun orang lain memandang orang tersebut sebagai orang
yang kurus, dan
d. Dalam
kasus wanita yang telah mengalami menstruasi, akan terjadi ketidakhadiran tiga
atau lebih periode menstruasi.
Anoreksia
nervosa lebih sering dialami oleh wanita., namun jumlah pria muda yang
menunjukkan anoreksia nervosa makin bertambah. Anoreksia nervosa mempunyai dua
subtipe umum, yaitu tipe makan berlebihan/membersihkan dan tipa makan menahan.
Pada tipe pertama, ditandai oleh episode dari makan yang berlebihan dan lalu
memuntahkannya. Anoreksia nervosa dapat berakibat fatal. Berkurangnya berat
badan sebesar 35% akan dapat menimbulkan anemia. Wanita yang menderita
anoreksia nervosa ini bisanya memilki masalah pada kulit, seperti kulit kering,
kulit pecah, rambut lepek, bahkan perubahan warna yang menjadi kekuningan akan
muncul beberapa tahun setelah berat badan naik kembali. Angka kematian dari
anoreksia nervosa ini diperkirakan antara 5% sampai 8% selama periode 10 tahun,
dengan kebanyakan kematian disebabkan oleh bunuh diri atau komplikasi medis
yang dihubungkan dengan penurunan berat badan yang parah.
2. Bulimia
Nervosa
Bulimia
nervosa adalah ganguan makan yang memiliki karakteristik episode yang berulang
untuk menelan makanan dalam jumlah besar, diikuti dengan penggunaan cara-cara
yang
tidak
tepat untuk mencegah pertambahan berat badan. Seseorang yang menderita gangguan
bulimia nervosa biasanya mencolok tenggorokkan mereka untuk menimbulkan
perasaan ingin muntah. Berikut ini ada beberapa karakteristik diagnostik dari
bulimia nervosa, antara lain:
a. Episode
yang berulang dari makan yang berlebihan, seperti:
1) Memakan
makanan dalam jumlah yang sangat luar biasa selama periode 2 jam, dan
2) Merasa
kehilangan kontrol terhadap pemasukan makanan pada saat episode tersebut.
b. Perilaku
tidak sesuai yang saling terjadi untuk menjaga berat tubuh yang tidak ingin
bertambah.
c. Rata-rata
minimal dalam seminggu terjadi dua episode makan berlebihan dan perilaku
kompensasi yang tidak sesuai untuk menghindari bertambahnya berat badan, dan
hal ini terjadi minimal selama 3 bulan.
d. Perhatian
berlebihan yang terus-menerus terhadap bentuk dan berat badan.
Makan
yang berlebihan biasanya berlangsung selama 30 sampai 60 menit dan ditujukan
untuk mengonsumsi makanan yang seharusnya dihindari. Rata-rata bulimia terjadi saat remaja akhir, ketika
tekanan tentang diet dan ketidakpuasan akan bentuk tubuh atau berat badan
berada pada puncaknya. Bulimia juga dapat berhubungan dengan banyak komplikasi
medis. Dampak yang mungkin akan terjadi pada penderita bulimia adalah iritasi
pada kulit sekitar mulut yang disebabkan karena seringnya kontak dengan asam
lambung, terhambatnya air liur, peluruhan enamel gigi, dan karang gigi.
Gangguan fungsi menstruasi juga ditemukan pada 50% wanita penderita bulimia
yang memiliki berat badan normal.
Gangguan Makan Berlebihan
Orang
yang mengidap gangguan makan berlebihan akan menunjukkan pola makan secara
berlebihan berulang kali tetapi tidak mengeluarkan makanan tersebut sesudahnya.
Gangguan makan berlebihan lebih umum ditemukan di antara individu yang
mengalami obesitas. Gangguan makan dipercaya mempengaruhi 2% dari populasi. Orang-orang dengan gangguan makan berlebihan
cenderung akan lebih tua daripada penderita anoreksia dan bulimia.
Faktor Penyebab Gangguan Makan
Ada
beberapa faktor penyebab bagi timbulnya gangguan makan, antara lain:
1. Faktor
sosiokultural, tekanan yang berlebihan pada wanita muda untuk mencapai standar
kurus yang tidak realistis.
2. Faktor
psikologis, diet kaku atau sangat membatasi dapat mengakibatkan berkurangnya
kontrol yang diikuti dengan pelanggaran diet dan menghasilkan makan berlebihan
yang bersifat bulimia. Ketidakpuasan pada tubuh memicu dilakukannya cara-cara
yang tidak sehat untuk mencapai berat badan yang diinginkan. Merasa kurang
memiliki kontrol atas berbagai aspek kehidupan lain selain diet. Kesulitan
berpisah dari keluarga dan membangun identitas individual. Serta kebutuhan
psikologis untuk kesempurnaan dan kecenderungan untuk berpikir secara
dikotomis.
3. Faktor
keluarga, keluarga dari pasien gangguan makan sering kali memiliki
karakteristik yang sama yaitu adanya konflik, kurangnya kedekatan dan
pengasuhan, serta gagal dalam membangun kemandirian dan otonomi pada diri anak
perempuan mereka. Dari perspektif sistem keluarga, gangguan makan pada
perempuan dapat memberi keseimbangan pada keluarga yang disfungsional dengan
mengalihkan perhatian dari masalah keluarga atau pun masalah pernikahan.
4. Faktor
biologis, ketidakseimbangan yang mungkin terjadi pada sistem neurotransmiter di
otak yang mengatur mood dan nafsu makan. Serta kemungkinan pengaruh genetis.
Pendekatan Penanganan Gangguan Makan
Berikut
ini ada beberapa pendekatan penanganan gangguan makan, diantaranya:
1. Penanganan
biomedis, yaitu:
a) Perawatan
di rumah sakit mungkin diperlukan untuk membantu pasien anoreksia mencapai
berat badan yang sehat atau pasien bulimia mengatasi siklus makan berlebih lalu
mengeluarkannya dalam kasus dimana
terapi rawat jalan telah gagal,
b) Pengobatan
antidepresan dapat digunakan untuk mengatur nafsu makan dengan mengubah proses
kimia pada otak atau untuk melepaskan depresi yang mendasari.
2. Psikoterapi,
terapi psikodinamika bertujuan untuk
mengeksplorasi dan menyelesaikan konflik psikologis yang ada.
3. Terapi
behavioral kognitif, yaitu:
a) Untuk
membantu individu dengan gangguan makan mengalahkan pikiran dan keyakinan yang
self-defeating serta mengembangkan kebiasaan makan dan pola berpikir yang lebih
sehat,
b) Modifikasi
perilaku membantu pasien anoreksia yang dirawat di rumah sakit untuk
meningkatkan berat badan dengan memberi hadiah yang diinginkan untuk perilaku
makan yang tepat, dan
c) Pemaparan
terhadap pencegahan respons membantu individu bulimia untuk menoleransi memakan
makanan yang menurut mereka dilarang tanpa makan berlebihan dan
mengeluarkannya.
4. Terapi
keluarga, terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik keluarga dan
meningkatkan komunikasi di antara anggota keluarga.
B. OBESITAS
Obesitas
dikelompokkan sebagai gangguan medis kronis, dan bukan merupakan gangguan
psikologis (Atkinson, 1997). Obesitas juga merupakan faktor resiko terbesar
untuk penyakit kronis yang secara potensial akan membahayakan jiwa, seperti
sakit jantung, diabetes, dan beberapa bentuk dari kanker. Obesitas disebabkan
oleh berbagai hal, diantaranya:
1. Faktor
genetis
Obesitas
kebanyakan terjadi karena faktor keturunan dalam keluarga. Banyak orang tua
yang mengalami obesitas akan mendorong
anak-anaknya untuk menjadi seseorang yang gemuk, dan hal itu merupakan
suatu contoh yang buruk. Para ahli mengatakan, bahwa faktor genetis memainkan
peranan penting dalam menentukan resiko obesitas. Akan tetapi, faktor genetis
tidak merupakan satu-satunya penyebab. Selebihnya dari itu, faktor lingkungan
dan genetis sama-sama berpengaruh terhadap obesitas.
2. Faktor
metabolisme
Ketika
seseorang kehilangan berat badan, terutama dengan jumlah yang signifikan, tubuh
akan bereaksi seakan-akan kelaparan. Tubuh akan merespons penurunan berat badan
dengan memperlambat tingkat metabolisme atau tingkat pembakaran kalori tubuh.
Latihan fisik yang giat akan membakar kalori secara langsung dan dapat
meningkatkan tingkat metabolisme dengan mengganti jaringan lemak dengan otot,
terutama jika program latihan fisik ini melibatkan aktivitas angkat beban.
Sehingga, sedikit demi sedikit, otot akan membakar lebih banyak kalori daripada
lemak. Sebelum memulai latihan fisik, perlu memerikasakan diri ke dokter untuk
menentukan jenis aktivitas mana yang paling baik untuk kondisi tubuh secara
keseluruhan.
3. Sel
lemak
Orang
yang memiliki lebih banyak jaringan lemak akan mengirimkan lebih banyak sinyal
pengosongan lemak ke otak daripada orang yang memiliki berat badan yang sama
tetapi memiliki lebih banyak sel lemak yang lebih sedikit. Sebagai hasilnya,
mereka lebih cepat merasa membutuhkan makanan. Jumlah sel lemak dalam tubuh
akan menentukan obesitas, tetapi hal itu tidak terlepas dari keturunan juga.
4. Faktor
gaya hidup
Faktor gaya
hidup, seperti menerapkan pola makan tinggi lemak dan makan dalam porsi besar,
juga sangat berkonstribusi terhadap obesitas.
5. Faktor
psikologis
Faktor
psikologis yang berhubungan dengan makan berlebihan dan obesitas itu mencakup
rendahnya self-esteem, kurangnya harapan self-efficacy, konflik keluarga, dan
emosi negatif.
Perbedaan Etnik dan Sosioekonomi pada
Obesitas
1. Faktor
sosioekonomi
Obesitas
lebih umum dialami oleh orang-orang dengan tingkat sosioekonomi yang rendah.
Orang yang lebih berada memiliki akses lebih besar untuk mengetahui informasi
tentang nutrisi dan kesehatan. Sedangkan orang-orang yang kurang berada akan
kurang teratur dalam melakukan olahraga
fisik, seperti yang dilakukan oleh orang-orang berada. Banyak orang-orang miskin
di perkotaan juga menganggap bahwa makanan sebagai cara mengatasi stres akibat
kemsikinan, diskriminasi, kepadatan, dan kejahatan.
2. Akulturasi
Penerapan
pola makan budaya barat yang tinggi lemak, berkurangnya tuntutan fisik dalam
kegiatan industri, dan tingkat pengangguran yang kronis dikombinasikan dengan
rendahnya tingkat aktivitas fisik disebutkan sebagai faktor-faktor yang
berkonstribusi terhadap obesitas, terutama terjadi di kalangan orang-orang
Amerika dan Kanada.
Pencegahan Obesitas
1. Meningkatkan
akses ke pendidikan kesehatan,
2. Memasukkan
kurikulum pendidikan kesehatan di seluruh sekolah negeri,
3. Jaminan
atas akses universal untuk penanganan obesitas, dan
4. Meningkatkan
akses untuk makanan bergizi dan
kesempatan berekreasi.
C. GANGGUAN TIDUR
Tidur
merupakan suatu kebutuhan bagi manusia. Manusia membutuhkan setidaknya 7 jam
atau lebih untuk tidur pada malam hari. Masalah tidur akan menyebabkan stres
pribadi yang signifikan atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau peran lain
yang dapat diklasifikasikan ke dalam sistem DSM sebagai gangguan tidur. Orang
dengan gangguan tidur biasanya menghabiskan beberapa malam di pusat tidur,
dimana mereka dihubungkan dengan kabel ke alat-alat yang mencatat respons
fisiologis mereka selama tidur atau sedang berusaha untuk tidur menuju ke
gelombang otak, tingkat jantung dan pernapasan, seterusnya. Sistem DSM gangguan
tidur dikelompokkan ke dalam 2 kategori, yaitu:
1. Dissomnia,
adalah gangguan tidur yang memiliki karakteristik terganggunya jumlah,
kualitas, atau waktu dari tidur. Ada 5 tipe khusus dari dissomnia, antara lain:
a) Insomnia,
insomnia biasanya muncul saat seseorang berada dalam keadaan stres. Insomnia
kronis yang tidak disebabkan oleh gangguan psikologis atau fisik lainnya, atau
efek obat atau pengobatan dalam insomnia disebut dengan insomnia primer. Insomnia
primer mengakibatkan rasa lelah di siang hari dan menyebabkan timbulnya tingkat
stres pribadi yang signifikan. Penderita insomnia primer memiliki kesulitan
terus-menerus untuk tertidur, tetap tidur, atau mengalami tidur yang restoratif
dalam jangka waktu sebulan atau lebih. Orang-orang muda dengan insomnia primer
biasanya mengeluh membutuhkan waktu yang sangat lama untuk tertidur. Sedangkan
orang yang lebih tua akan lebih banyak mengeluh saat sering terbangun pada
malam hari, atau bangun terlalu awal di pagi hari.
b) Hipersomnia,
hipersomnia primer merupakan suatu rasa kantuk yang berlebihan sepanjang hari
dan berlangsung sampai sebulan atau lebih. Rasa kantuk yang berlebihan dapat
berbentuk kesulitan untuk bangun setelah periode tidur yang panjang (biasanya 8
sampai 12 jam tidur).
c) Narkolepsi,
orang dengan narkolepsi akan mengalami serangan tidur dimana mereka mendadak
tertidur tanpa adanya pertanda pada waktu-waktu yang berbeda sepanjang hari.
Mereka tetap tertidur dalam jangka waktu 15 menit. Diagnosis narkolepsi dapat
diberikan ketika serangan tidur muncul setiap hari selama periode 3 bulan atau
lebih dan dikombinasikan dengan kehadiran salah satu atau kondisi-kondisi berikut:
1) Kehilangan
kontrol otot secara mendadak, dan
2) Gangguan
tidur REM dalam tahap transisi antara
tidur dan sadar.
d) Gangguan
tidur yang terkait dengan pernapasan, orang dengan gangguan tidur ini akan
mengalami gangguan untuk tidur secara berulang-ulang yang disebabkan oleh
masalah pernapasan. Gangguan ini akan mnegakibatkan insomnia atau rasa kantuk
yang berlebihan di siang hari.
e) Gangguan
irama tidur sirkadia, pada gangguan ini, irama tidur menjadi sangat terganggu
karena ketidakcocokan antara tuntutan jadwal tidur yang ditetapkan oleh
seseorang dengan siklus internal tidur bangun orang tersebut. Penanganan pada
gangguan ini akan melibatkan program penyesuaian secara bertahap pada jadwal
tidur untuk menjadikan sistem sirkadia seseorang sesuai dengan perubahan jadwal
tidur bangun.
2. Parasomnia,
adalah perilaku abnormal atau peristiwa fisiologis yang muncul pada saat tidur
atau pada ambang batas antara saat terjaga dan tidur. Ada beberapa jenis-jenis
dari parasomnia, antara lain:
a) Gangguan
mimpi buruk, adalah proses terjaga dari tidur secara berulang karena mimpi yang
menakutkan. Orang dengan gangguan ini akan dapat mengingat mimpi buruk ini
dengan jelas pada saat bangun tidur.
Mimpi buruk yang dialami sering dihubungkan dengan pengalaman traumatis
dan umumnya lebih sering terjadi ketika individu berada dalam kondisi stres.
b) Gangguan
teror dalam tidur, gangguan ini melibatkan episode teror dalam tidur yang
berulang yang menghasilkan proses terjaga secara tiba-tiba dan dimulai dengan
teriakan panik. Orang dengan gangguan ini akan merasakan teror yang samar dan
mampu menceritakan beberapa gambaran dari mimpinyai. Kebanyakan orang yang
mengalami teror dalam tidur akan kembali tertidur dan tidak mengingat apa pun
tentang pengalamannya semalam pada pagi harinya. Gangguan teror dalam tidur
pada anak-anak biasanya muncul di masa remaja.
c) Gangguan
berjalan sambil tidur, merupakan episode berulang dimana orang-orang yang
sedang tidur akan bangkit dari tempat tidur dan berjalan di sekitar rumah
sambil tetap tertidur. Gangguan berjalan sambil tidur paling banyak terjadi
pada anak-anak, mempengaruhi sekitar 1% sampai 5% anak-anak menurut sejumlah
estimasi. Orang yang berjalan sambil tidur cenderung memiliki tatapan kosong
pada wajah mereka selama episode ini berlangsung. Umumnya mereka tidak
responsif terhadap orang lain dan sulit untuk terbangun. Ketika mereka
terbangun, mereka hanya dapat mengingat sedikit dari pengalaman mereka semalam.
Pendekatan Penanganan Gangguan Tidur
1. Terapi
obat, dapat digunakan untuk penyembuhan jangka pendek bagi insomnia dan untuk
mengatasi gangguan tidur lelap.
2. Penanganan
biomedis, pembedahan atau alat bantu mekanik yang dapat digunakan untuk membuka
jalan udara pada pasien apnea.
3. Terapi
kognitif behavioral, dapat digunakan untuk mengubah kebiasaan tidur yang
maladaptif dan pemikiran atau keyakinan yang disfungsional mengenai tidur.
Faktor Penyebab Gangguan Tidur
1. Faktor
biologis, seperti:
a) Masalah
fisik yang mendasari,
b) Kerusakan
genetis yang mungkin mengganggu mekanisme otak untuk mengontrol tidur, dan
c) Penggunaan
obat-obatan yang mempengaruhi tidur normal.
2. Faktor
psikologis, seperti:
a) Kecemasan,
depresi yang mengganggu untuk dapat tertidur atau tetap tidur,
b) Seringnya
terjadi perubahan dalam waktu tidur dan bangun, dan
c) Pemaparan
terhadap trauma.
REFERENSI
Nevid S, Jeffrey., Rathus A,
Spencer., dan Greene, Beverly. 2005. Psikologi
Abnormal Jilid 2. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar