Senin, 25 Maret 2013

Masalah dan Kriteria Masalah dalam BK


MASALAH DAN KRITERIA MASALAH DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

A. Pengertian dan Ciri-Ciri Masalah
Dalam perkembangan dan proses kehidupannya, manusia sangat mungkin menemui berbagai permasalahan, baik oleh individu secara perorangan maupun kelompok. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu sangat dimungkinkan selain berpengaruh pada dirinya sendiri, juga berpengaruh kepada orang lain atau lingkungan sekitarnya.
Pada hakekatnya, proses pengembangan manusia seutuhnya hendaknya mencapai pribadi-pribadi kediriannya yang matang, dengan kemampuan sosial yang baik, kesusilaan yang tinggi, serta keimanan dan ketakwaan yang dalam. Namun pada kenyataannya, sering dijumpai keadaan pribadi yang kurang berkembang dan rapuh, tingkat kesosialan dan kesusilaan yang rendah, serta tingkat keimanan dan ketakwaan yang dangkal.
Ketidakmampuan setiap individu untuk mewujudkan perkembangan yang optimal pada ke empat dimensi (individualitas, sosialitas, moralitas, dan relegiusitas) tersebut dikarenakan oleh berbagai permasalahan yang dialami selama proses perkembangannya. Masalah merupakan sesuatu atau persoalan yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Masalah yang menimpa seseorang bila dibiarkan berkembang dan tidak segera dipecahkan dapat mengganggu kehidupan, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Adapun ciri-ciri masalah adalah sebagai berikut:
1.        Masalah yang muncul karena ada kesenjangan antara harapan (das sollen)  dan kenyataan (das sein).
2.        Semakin besar kesenjangan, maka masalah semakin berat.
3.        Tiap kesenjangan yang terjadi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda.
4.        Masalah muncul sebagai perilaku yang tidak dikehendaki oleh individu itu sendiri maupun oleh lingkungan.
5.        Masalah timbul akibat dari proses belajar yang keliru.
6.        Masalah memerlukan berbagai pertanyaan dasar yang perlu dijawab.
7.        Masalah dapat bersifat individual maupun kelompok.
B. Kriteria Masalah
Pada dasarnya, masalah ditandai oleh adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Namun, tidak semua masalah perlu ditangani melalui pendekatan konseling. Suatu masalah perlu ditangani melalui konseling, bila memenuhi kriteria tertentu. Pada dasarnya, masalah tersebut berasal dari suatu masalah yang cukup serius, cukup mengguncangkan pribadi konseli, masalah tersebut senantiasa mencekam sehingga pikiran dan perasaan konseli tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan berpengaruh terhadap perubahan fisiologik tubuh. Disisi lain, masalah tersebut sudah berada diluar jangkauan konseli untuk mereda, menghalau ataupun untuk menyelesaikannya sendiri. Sementara itu, bila masalah tersebut tidak diatasi maka akan merugikan diri sendiri maupun pihak lain, terjadinya hambatan perkembangan, penyimpangan sikap dan perilaku, salah perilaku dan inadekuat lain.
Selanjutnya, secara sadar konseli butuh bantuan dari orang lain untuk menghadapi, mengatasi, dan memecahkan masalahnya yang berada di luar kemampuannya. Jadi, masalah tersebut perlu digarap dengan cara-cara khusus, cara-cara yang memadai. Dengan kata lain, masalah tersebut diatasi dengan bantuan orang lain yang memiliki kompetensi atau keahlian sesuai dengan karakteristik dan kadar permasalahanya perlu penanganan secara profesional.
Meski masalah tersebut cukup serius dan sifatnya spesifik, menimbulkan ketegangan, kecemasan, ketakutan, frustasi ataupun konflik namun masalah tersebut masih dalam jangkauan profesi bimbingan dan konseling, masih dalam kategori “normal”, belum termasuk “abnormal”. Bila masalah konseli mencapai kadar yang sangat berat, neuosus, diluar jangkauan konselor, maka perlu di “referal” kepada psikologis klinis. Terlebih-lebih bila diagnosa masalah mengidentifikasi adanya simtoma abnormalitas atau psikosis, maka merupakan kewenangan psikiater untuk menanganinya.
Berikut ini adalah kriteria masalah dalam konseling secara prinsip, antara lain:
1.        Masalah sebagai kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang tergolong serius, sifatnya khas dan cukup mengguncangkan kehidupan secara sosial maupum pribadi dari konseli. Masalah yang dihadapi oleh konseli itu mempengaruhi kehidupan pribadi maupun sosial dari konselinya.
2.        Masalah yang cukup serius itu, selalu mengganggu pikiran dan perasaan, serta masalah tersebut diluar jangkauan subjek untuk mangatasi atau menyelesaikan sendiri. Masalah tersebut adalah suatu masalah dimana konseli sudah merasa tidak mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan dirinya sendiri. Maka, disini konseli membutuhkan bantuan dari konselor untuk membantu salam upaya pemecahan masalahnya tersebut.
3.        Bila masalah tersebut tak terpecahkan ataupun tak terselesaikan, maka akan mengakibatkan kerugian bagi subjek maupun pihak lain yang boleh jadi berdampak memunculkan masalah baru. Jika suatu masalah yang dihadapi oleh konseli tidak segera terpecahkan atau terselesaikan, maka masalah tersebut dapat memunculkan suatu masalah yang baru dan akan mengganggu kehidupan dari konseli. Oleh sebab itu, suatu masalah yang dihadapi oleh konseli harus secepatnya dapat terselesaikan dengan baik.
4.        Pada gilirannya, konseli butuh bantuan pertolongan untuk memecahkan masalahnya secara memadai, sehingga dapat mengembangkan pribadi yang “balance”, produktif dan sehat. Konseli akan selalu membutuhkan pertolongan bantuan dari seorang konselor dalam upaya pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Setelah memperoleh  bantuan dari konselor, maka diharapkan konseli mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal, serta dapat hidup dengan seimbang, produktif, dan sehat.
5.        Dengan kata lain, masalah tersebut perlu ditangani secara profesional oleh figur yang kompeten dan berwenang. Dalam menangani suatu permasalahan yang dihadapi oleh konseli memang sudah seharusnya ditangani oleh orang yang profesional dan sudah ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Jika dalam menangani suatu masalah itu tidak ditangani oleh orang yang sudah profesional, maka akan menjadi ketakutan, apabila pemecahannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konseli atau tidak sesuai dengan tugas perkembangan dari konseli yang bersangkutan.
6.        Akhirnya, masalah yang dimaksud berada dalam ruang lingkup kewenangan konselor yaitu masalah-masalah melanda pada orang-orang normal. Seorang konselor hanya akan membantu memecahkan masalah dari konseli yang masih dalam keadaan normal, atau tidak sedang mengalami gangguan jiwa (abnormal). Jika konseli sudah berada dalam suatu keadaan yang abnormal, maka hal itu sudah tidak menjadi kewenangan dari seorang konselor. Dengan kata lain, masalah itu bisa dialih tangankan kasus ke orang yang lebih ahli, misalnya seorang psikiater.
C. Jenis-Jenis Masalah
Berikut ini ada beberapa masalah yang dialami oleh para remaja di sekolah menengah, antara lain:
1.        Masalah emosi
Secara tradisional, masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan kadang kurang tampak irasional. Hal ini dapat dilihat dari gejala yang nampak pada mereka, misalnya mudah marah. Keadaan seperti ini sering kali menimbulkan berbagai permasalahan khususnya dalam kaitannya dengan penyesuaian diri di lingkungannya. Sekolah sebagai lembaga formal yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk membantu subjek didik menuju kearah kedewasaan yang optimal harus mempunyai langkah-langkah konkrit untuk mencegah dan mengatasi masalah emsosional ini. Misalnya dengan memberikan pelayanan khusus bagi siswa melalui program layanan informasi, layanan konseling, layanan bimbingan dan konseling kelompok. Dalam layanan bimbingan dan konseling kelompok, anak dapat berlatih bagaimana cara menjadi pendengar yang baik, bagaimana cara mengemukakan masalah, bagaimana cara mengendalikan diri baik dalam menanggapi masalah sesama anggota maupun saat mengemukakan masalahnya sendiri.
2.        Masalah penyesuaian diri
Salah satu tugas yang paling sulit pada masa remaja adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis baik dengan sesama remaja maupun dengan orang-orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Pada fase ini remaja lebih banyak di luar rumah bersama dengan teman-temannya sebagai kelompok, maka dapatlah dipahami jika pengaruh teman sebaya dalam segala pola perilaku, sikap, minat, dan gaya hidupnya lebih besar daripada pengaruh dari keluarga. Perilaku remaja sangat bergantung pada pola-pola perilaku kelompok. Yang menjadi masalah apabila mereka salah dalam bergaul. Dalam keadaan demikian, remaja akan cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan berbagai akibat yang akan menimpa dirinya. Untuk itulah, maka sekolah harus ikut membantu tugas-tugas perkembangan remaja tersebut agar mereka tidak mengalami kesalahan dalam penyesuaian dirinya. Melalui penyediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pembinaan bakat dan minat baik lewat kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikuler di sekolah, hal-hal tersebut diharapkan dapat mencegah dan mengatasi kesalahan pergaulan tersebut. Contoh dari masalah penyesuaian diri ini adalah susah dalam hubungan sosial dan mencari teman.
3.        Masalah perilaku seksual
Tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh remaja sehubungan dengan kematangan seksualitasnya adalah pembentukan hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis dan belajar memerankan peran seks yang diakuinya. Pada masa ini, remaja sudah mulai tertarik pada lawan jenis, mulai bersifat romantis, yang diikuti oleh keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan dan perhatian dari lawan jenis. Sebagai akibatnya, remaja memiliki minat yang tinggi terhadap seks. Seharusnya mereka mencari dan atau memperoleh informasi tentang seluk beluk seks dari orang tua, tetapi pada kenyataannya mereka lebih banyak mencari informasi dari sumber-sumber yang kadang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya dari teman sebaya yang sama-sama kurang memahami arti pentingnya seks, dari internet, media elektronik, dan media cetak yang kadang-kadang lebih menjurus ke pornografi. Sebagai akibat dari informasi yang tidak tepat tersebut dapat menimbulkan perilaku seks remaja yang apabila ditinjau dari segi moral dan kesehatan tidak layak dilakukan, misalnya berciuman ataupun masturbasi. Bagi generasi muda sekarang ini, hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang dianggap normal dan benar. Bahkan hubungan seks di luar nikah dianggap benar apabila orang-orang yang terlibat saling mencintai dan saling merasa terikat. Untuk menanggulangi dan mengatasi masalah seperti itu, sekolah hendaknya melakukan tindakan-tindakan yang nyata, misalnya pendidikan seks (seks education).
4.        Masalah perilaku sosial
Tanda-tanda masalah perilaku sosial pada remaja dapat dilihat dari adanya diskriminasi terhadap mereka yang berlatar belakang ras, agama, atau sosial ekonomi yang berbeda. Dengan perilaku-perilaku sosial seperti ini, maka akan dapat melahirkan geng-geng atau kelompok-kelompok remaja, yang pembentukannya berdasarkan atas kesamaan latar belakang, agama, suku, dan sosial ekonomi. Pembentukan kelompok atau geng pada remaja tersebut dapat memicu terjadinya permusuhan antar kelompok atau geng. Untuk mencegah atau mengatasi masalah-masalah tersebut, sekolah sebenarnya dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kelompok (baik kurikuler maupun kokurikuler) dengan tidak memperhatikan latar belakang suku, agama, ras, an sosial ekonomi. Sekolah harus mampu memperlakukan siswa secara sama, dan tidak membeda-bedakan siswa yang satu dengan siswa lainnya.
5.        Masalah moral
Masalah moral yang terjadi pada remaja ditandai oleh adanya ketidakmampuan remaja dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya antar sekolah, keluarga, ataupun dalam kelompok remaja. Ketidakmampuan membedakan mana yang benar dengan mana yang salah dapat membawa masalah bagi kehidupan remaja pada khususnya dan pada semua orang pada umumnya. Untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah yang demikian, maka sekolah sebaiknya menyelenggarakan berbagai kegiatan-kegiatan keagamaan dan meningkatkan budi pekerti. Contoh dari masalah moral ini adalah mencontek saat ujian.
6.        Masalah keluarga
Di dalam sekolah menengah, sering ditemukan berbagai permasalahan remaja yang penyebab utamanya adalah terjadinya kesalahpahaman antara anak dengan orang tua. Seperti yang telah dikemukakan oleh Hurlock (dalam Mugiarso, 2011: 98), sebab-sebab umum pertentangan keluarga selama masa remaja adalah standar perilaku, motode disiplin, hubungan dengan saudara kandung, sikap yang sangat kritis pada remaja, dan masalah palang pintu (perbedaan pendapat). Remaja sering menganggap standar perilaku orang tua yang kuno dan yang modern itu berbeda. Menurut remaja, orang tua yang mempunyai standar kuno harus mampu mengikuti standar yang modern, sedangkan orang tua bersikeras pada pendiriannya semula. Keadaan inilah yang menjadi sumber perselisihan di antara mereka. Metode-metode disiplin yang diterapkan oleh orang tua yang terlalu kaku dan cenderung otoriter akan dapat menimbulkan permasalahan dan pertentangan di antara remaja dan orang tua. Salah satu ciri remaja adalah dimilikinya sikap kritis terhadap segala sesuatu, namun bagi keluarga tertentu sering tidak menyukai sikap remaja yang terlalu kritis terhadap pola perilaku orang tua dan terhadap pola perilaku keluarga pada umumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan masalah keluarga palang pintu adalah peraturan keluarga tentang penetapan jam atau waktu pulang dan mengenai teman-teman dengan siapa remaja itu dapat berhubungan, terutama teman-teman yang lawan jenis. Untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut, maka sekolah harus mampu meningkatkan kerjasama dengan orang tua dari para siswanya.
Prayitno (dalam Mugiarso, 2011: 99) mengelompokkan masalah siswa di sekolah menengah menjadi empat kelompok besar, yaitu:
1.        Masalah yang berhubungan dengan dimensi keindividualan, masalah ini berkaitan dengan pribadi (diri sendiri) dari siswa yang bersangkutan.
2.        Masalah yang berhubungan dengan dimensi kesosialan, masalah berkaitan dengan bagaimana seorang siswa mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
3.        Masalah yang berhubungan dengan dimensi kesusilaan, masalah ini berkaitan dengan moral para peserta didik (siswa) pada sekolah menengah.
4.        Masalah yang berhubungan dengan dimensi keberagamaan, masalah ini berkaitan dengan ras, suku, dan agama dari masing-masing peserta didik (siswa) pada sekolah menengah.
D. Kesimpulan
Pada hakekatnya, setiap manusia senantiasa ingin mewujudkan kebahagiaan dalam hidupnya. Akan tetapi pada kenyataannya, manusia sangat mungkin menemui berbagai permasalahan yang dapat menghambat dan menggangu tercapainya kebahagaiaan tersebut. Demikian juag bagi subjek didik yang berada pada tingkat pendidikan sekolah menengah yang sedang berada dalam fase masa perkembangan remaja juga mengalami berbagai permasalahan hidup, yang apabila dibiarkan akan mengganggu dan menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang sedang dilaluinya. Terdapat berbagai jenis masalah yang dialami oleh siswa sekolah menengah, diantaranya adalah masalah yang berhubungan dengan dimensi-dimensi kehidupan remaja, yaitu masalah yang bersifat individualitas, sosialitas moraritas, dan keagamaan serta ketakwaan. Dengan demikian, kehadiran layanan bimbingan dan konseling (BK) dalam sekolah, khususnya pada sekolah menengah ini sangat bermanfaat demi tercapainya kehidupan peserta didik yang lebih baik dan agar peserta didik mampu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Namun, kewenangan seorang konselor untuk membantu konselinya dalam menyelesaikan masalah berada dalam kriteria masalah yang masih normal, bukan kriteria masalah yang sudah abnormal.


DAFTAR PUSTAKA

Mugiarso, Heru. 2011. Bimbingan dan Konseling. Semarang: Pusat Pengembangan
MKU/MKDK-LP3 UNNES.
Supriyo dkk. 2003. Bimbingan dan Konseling. Semarang: Perc. Swadaya Manunggal
            Semarang.
http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/masalah-masalah-yang-dihadapi-konselor.html (diunduh pada tanggal 7 Desember 2012, pada pukul 09.00 WIB)

Minggu, 24 Maret 2013

Asas-Asas Bimbingan dan Konseling


ASAS-ASAS BIMBINGAN DAN KONSELING

Pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan yang profesional. Dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling terdapat kaidah-kaidah didalamnya, kaidah-kaidah tersebut dikenal dengan asas-asas bimbingan dan konseling, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas itu bisa diterapkan dengan baik, maka diharapkan proses pelayanan mengarah pada pencapaian tujuan yang diharapkan, sebaliknya jika asas-asas itu diabaikan atau dilanggar, maka akan sangat dikhawatirkan kegiatan yang terlaksana itu justru berlawanan dengan tujuan dari bimbingan dan konseling, bahkan akan dapat merugikan orang-orang yang terlibat di dalam pelayanan bimbingan dan konseling, serta profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Berikut ini adalah  asas-asas dalam pelayanan bimbingan dan konseling:
1.      Asas Kerahasiaan
Asas kerahasiaan adalah asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan tentang peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Secara khusus pelayanan bimbingan dan konseling adalah melayani individu-individu yang bermasalah. Masih banyak orang yang beranggapan bahwa seseorang yang mempunyai sebuah masalah itu dianggap sebagai sebuah aib yang harus ditutup-tutupi. Keadaan yang seperti itu akan menghambat pemanfaatan proses pemberian bimbingan di masyarakat, khususnya di lingkungan sekolah. Akan tetapi, jika masyarakat sekolah harus mengetahui masalah-masalah yang dihadapi para sisiwanya, maka peran sekolahlah yang penting, yaitu menerapkan asas kerahasiaan secara penuh. Asas kerahasiaan ini merupakan asas kunci dalam usaha pelayanan bimbingan dan konseling. Jika asas-asas ini benar-benar dilaksanakan, maka penyelenggaraan atau pemberian bimbingan dan konseling akan mendapatkan kepercayaan dari semua pihak, terutama para klien (konseli) . Begitupun dengan sebaliknya, jika dalam pelayanan bimbingan dan konseling tidak bisa menjaga asas kerahasiaannya, maka kepercayaan itupun akan hilang. Oleh karena itu, segala sesuatuvyang dibicarakan konseli kepada konselor tidak boleh disebarluaskan kepada orang lain yang tidak berkepentingan.
2.      Asas kesukarelaan
Jika asas kerahasiaan sudah bisa terlaksana dengan baik, maka dapat diharapkan bahwa mereka yang mengalami masalah akan dengan sukarela membawa masalahnya itu kepada konselor ataupun pembimbing untuk dibimbing. Asas kesukarelaan adalah asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) untuk mengikuti atau menjalani layanan atau kegiatan yang diperuntukan baginya. Proses bimbingan dan konseling itu harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak klien ataupun dari konselornya. Dalam hal ini klien diharapkan secara suka rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa untuk menyampaikan masalah yang dihadapinya berdasarkan fakta, data, dan seluk beluk yang berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor. Dan hendaknya konselor dapat memberikan bantuan yang tidak terpaksa serta disampaikan secara terbuka pula. Dalam asas kesukarelaan, seharusnya para pembimbing juga harus mampu untuk menghilangkan rasa bahwa tugas menjadi seorang guru bimbingan dan konseling itu merupakan paksaan pada diri mereka.
3.      Asas keterbukaan
Asas keterbukaan adalah asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik didalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi atau materi dari luar yang berguna untuk dirinya. Pelayanan bimbingan dan konseling yang efisien hanya akan berlangsung dalam suasana keterbukaan, baik yang dibimbing (klien) maupun konselornya. Keterbukaan ini bukan hanya sekedar dalam menerima saran-saran dari luar, tapi diharapkan masing-masing pihak yang bersangkutan bersedia untuk membuka diri demi kepentingan pemecahan masalah. Dengan keterbukaan inilah pengkajian serta penelaahan berbagai kekuatan dan kelemahan si terbimbing dapat terlaksana dengan baik. Keterbukaan akan terjadi apabila klien/konseli tidak lagi mempersoalkan asas kerahasiaan yang semestinya sudah diterapkan oleh konselor. Untuk keterbukaan klien, seorang konselor harus terus membina hubungan sedemikian rupa sehingga klien yakin bahwa konselor juga bersikap terbuka dan yakin bahwa asas kerahasiaan memang terselenggara dengan baik. Keterbukaan disini ditinjau dari 2 arah. Dari pihak klien diharapkan pertama-tama mau untuk membuka diri sendiri apa yang ada pada dirinya dapat diketahui oleh konselor, dan yang kedua harus mau membuka diri dalam arti mau menerima saran-saran dan masukan lainnya dari pihak luar. Dari pihak konselor, keterbukaan terwujud dengan kesediaan konselor untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan klien dan mau mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itumemang dikehendaki oleh klien.
4.      Asas kekinian
Asas kekinian adalah asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan peserta didik (klien) dalam kondisinya sekarang.  Masalah klien yang langsung ditanggulangi adalah masalah sekarang bukan masalah yang sudah lampau, dan juga bukan masalah yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Apabila layanan berkenaan dengan masa depan atau masa lampau, maka akan dilihat dampak dan atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang dibuat sekarang. Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan kepada konseli.
5.      Asas kemandirian
Asas  kemandirian adalah asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan bimbingan dan konseling diharapkan bisa menjadi individu-individu yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya. Dalam pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan untuk menjadikan si terbimbing dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain atau tergantung pada konselor. Dalam memberikan bimbingan, hendaknya para petugas bimbingan dan konseling selalu berusaha menghidupkan kemandirian pada diri orang yang dibimbing, jangan membiarkan orang yang dibimbing itu menjadi tergantung pada orang lain, khususnya pada konselor. Individu yang dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok, diantaranya:
a.       Mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya,
b.      Menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis,
c.       Mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri,
d.      Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan itu,
e.       Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat, dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.
Kemandirian dengan ciri-ciri umum diatas juga haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan peranan klien dalam kehidupan sehari-hari. Kemandirian sebagai hasil dari konseling menjadi arah dari keseluruhan proses konseling, dan itu harus disadari baik oleh konselor maupun konseli.
6.      Asas kedinamisan
Asas kedinamisan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (klien) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu. Usaha bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya perubahan dalam diri klien, yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Dan perubahan yang terjadi adalah perubahan yang selalu menuju ke suatu pembaruan dan lebih maju. Asas kedinamisan ini hendaknya mengacu pada hal-hal baru yang hendaknya terdapat pada proses konseling dan hasil-hasilnya.
7.      Asas kegiatan
Asas kegiatan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan layanan bimbingan. Usaha bimbingan dan konseling akan menghasilkan buah yang berarti jika klien tidak melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan dan konseling. Para konselor seharusnya bisa menimbulkan suasana agar konseli yang dibimbing mampu menyelenggarakan kegiatan yang dimaksudkan dalam penyelesaian masalah. Asas kegiatan ini merujuk pada pola konseling yang multi dimensional, yang tidak hanya mengandalkan transaksi verbal antara klien dan konselor. artinya klien harus aktif dalam menjalani proses konseling dan aktif pula dalam melaksanakan/menerapkan hasil-hasil dari konseling.
8.      Asas keterpaduan
Asas keterpaduan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai layanan atau kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadukan. Pelayanan bimbingan dan konseling berusaha untuk memadukan berbagai aspek pribadi dari klien. Sebagaimana diketahui, bahwa setiap klien itu memiliki berbagai aspek kepribadian yang tidak seimbang, serasi, dan terpadu, sehingga hal itu bisa menimbulkan masalah. Keterpaduan yang diharapkan adalah keterpaduan dari diri konseli itu sendiri dan juga keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan. Untuk mewujudkan asas keterpaduan ini, konselor perlu memiliki wawasan yang luas tentang perkembangan klien dan aspek-aspek lingkungan klien, serta berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah klien.
9.      Asas kenormatifan
Asas kenormatifan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma-norma yang ada. Norma-norma ini adalah norma agama, hukum, kesopanan, kesusilaan, kebiasaan berperilaku, dan adat istiadat. Asas kenormatifan ini diterapkan terhadap isi maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Seluruh isi layanan harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Selain itu, layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling juga harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan norma-norma tersebut.
10.  Asas keahlian
Asas keahlian adalah asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Untuk itu para konselorperlu mendapat keahlian yang secukupnya, sehingga dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian layanan. Keprofesionalan seorang guru pembimbing/konselor harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling. Asas keahlian selain mengacu pada kualifikasi konselor, juga kepada pengalaman yang ada pada diri konselor. Teori dan praktek bimbingan dan konseling perlu dipadukan satu sama lain. Maka dari itu, seorang konselor harus benar-benar ahli dalam menguasai teori dan praktek konseling secara baik.
11.  Asas alih tangan
Asas alih tangan ialah asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien) agar bisa mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Asas ini mengisyaratkan jika seorang konselor sudah mengerahkan kemampuannya untuk membantu klien, namun klien belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor boleh mengalihtangankan kepada klien (konseli). Disamping itu asas ini juga mengisyaratkan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling hanya menangani masalah-masalah individu sesuai dengan kewenangan petugas/konselor yang bersangkutan, dan setiap ada masalah harus ditangani oleh pihak yang berwenang untuk hal itu. Konselor  juga dapat menerima pengalihtanganan kasus dari orang tua, guru-guru lain, ataupun ahli lain, dan pada guru mata pelajaran.
12.  Asas tut wuri handayani
Asas tut wuri handayani adalah asas bimbingan dan konseling yang menghedaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi, mengembangan keteladanan, memberikan rangsangan dan dorongan, serta memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (klien) untuk maju. Demikian juga dengan segenap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan hendaknya disertai dan sekaligus dapat membangun suasana pengayoman, keteladanan, dan dorongan seperti itu. Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan pada waktu klien mengalami masalah dan saat menghadap kepada konselor saja, namun juga saat diluar hubungan proses bimbingan dan konselingpun hendaknya bisa dirasakan adanya manfaat pelayanan bimbingan dan konseling.
            Asas-asas tersebut harus saling terkait satu sama lain, dan segenap asas itu perlu diselenggarakan secara terpadu dan tepat waktu, artinya yang satu tidak boleh didahulukan atau dikemudiankan daripada yang lain. Asas-asas itu sangat penting, sehingga dapat dikatakan bahwa asas-asas itu merupakan jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan pelayanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas itu tidak dilaksanakan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan konseling akan tersendat atau bahkan bisa terhenti.





DAFTAR PUSTAKA

Mugiarso, Heru dkk. 2010. Bimbingan dan Konseling. Semarang: 
               UPT UNNES Press.
Prayitno, H., Amti, Erman. 2008. Dasar-Dasar Bimbingan dan
             Konseling. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Prayitno. 1997. Pelayanan Bimbingan dan Konseling SLTP. Padang:
             IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia).
Sukardi D, Ketut., Kusmawati, Nila. 2008. Proses Bimbingan dan
              Konseling di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta.