Selasa, 02 April 2013

Gangguan Identitas Gender, Parafilia, & Disfungsi Seksual


GANGGUAN IDENTITAS GENDER, PARAFILIA, DAN DISFUNGSI SEKSUAL

A. Gangguan Identitas Gender
Identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria maupun wanita. Sedangkan gangguan identitas gender terjadi karena adanya konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya. Gangguan identitas gender dapat berawal sejak masa anak-anak. Diagnosis gangguan identitas gender diterapkan pada anak-anak yang secara kuat menolak sifat anatomi mereka atau pada mereka yang terfokus pada pakaian atau aktivitas yang merupakan stereotipe dari gender lain. Diagnosis gangguan identitas gender diberikan baik pada anak-anak maupun orang dewasa yang mempersepsikan diri mereka secara psikologis sebagai anggota dari gender yang berlawanan dan yang secara terus-menerus menunjukkan ketidaknyamanan terhadap anatomi gender mereka sendiri. Pria memiliki kecenderungan yang lebih banyak untuk melakukan perubahan gender, seperti 4:1, tetapi secara umum hasilnya lebih banyak disukai untuk kasus wanita menjadi pria.
Berikut ini ada beberapa ciri-ciri klinis dari gangguan idenitas gender, antara lain:
1.      Identitas yang kuat dan persisten terhadap gender lainnya.
Di bawah ini adalah beberapa hal yang diperlukan untuk diagnosis pada anak-anak, yaitu:
a)      Ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lainnya,
b)      Preferensi untuk menggunakan pakaian yang merupakan tipikal dari gender lainnya,
c)      Adanya fantasi yang terus-menerus untuk menjadi anggota dari gender lain,
d)      Hasrat untuk berpartisipasi dalam aktivitas waktu luang dan permainan yang merupakan stereotip dari gender lainnya, dan
e)      Preferensi yang kuat untuk memiliki teman bermain dari gender lain.
2.      Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus ada dengan anatomi gendernya sendiri atau dengan perilaku yang merupakan tipe dari peran gendernya.
3.      Tidak ada kondisi interseks.
4.      Ciri-ciri tersebut dapat menimbulkan distres yang serius atau hendaya pada area penting yang terkait dengan pekerjaan, sosial, atau fungsi lainnya.


B. Parafilia
Parafilia merupakan suatu kondisi dimana seseorang menunjukkan keterangsangan seksual sebagai respons terhadap stimulus yang tidak biasa. Berikut ini ada beberapa tipe utama dari parafilia, antara lain:
1.      Ekshibisionisme, melibatkan dorongan yang kuat dan berulang untuk menunjukkan alat genital pada orang yang tidak dikenal dan yang tidak menduganya, dengan tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara seksual. Orang penderita ekshibisionisme biasanya tidak tertarik pada kontak seksual aktual dengan korban dan hal ini bukan sesuatu yang berbahaya.
2.      Fetishisme, adalah ketertarikan seksual pada objek yang bukan manusia atau bagian tubuh tertentu. Para penderita fetishisme akan mengalami kepuasan seksual melalui masturbasi sambil membelai, menggosok-gosok, mencium objek tersebut, atau dengan melihat pasangan mereka menggunakan itu selama melakukan aktivitas seksual. Fetishisme dapat dilacak dari masa kanak-kanak.
3.      Voyeurisme, adalah bertindak berdasarkan atau mengalami distres akibat munculnya dorongan seksual yang kuat da terus-menerus sehubungan dengan fantasi yang melibatkan kegiatan melihat/memperlihatkan orang, biasanya orang tak dikenal yang sedang tidak berpakaian atau membuka pakaian atau sedang melakukan aktivitas seksual dimana mereka tidak menduganya. Tujuannya adalah untuk mencapai kepuasan seksual. Orang yang melakukan veyeurisme biasanya tidak menginginkan aktivitas seksual dengan orang yang diobservasi.
4.      Froterisme, adalah adanya dorongan seksual yang kuat secara persisten yang melibatkan kegiatan menggosok atau menyentuh tubuh orang lain tanpa izin.
5.      Pedofilia, adalah dorongan seksual yang kuat dan berulang serta adanya fantasi terkait yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak-anak yang belum puber (biasanya usia 13 tahun atau lebih muda). Pemberian diagnosis pedofilia pada seseorang setidaknya harus berusia 16 tahun dan setidaknya 5 tahun lebih tua daripada anak-anak yang mereka rasakan ketertarikan secara seksual atau yang menjadi korban.
6.      Masokisme seksual, adalah kepuasan seksual yang dihubungkan dengan menerima penghinaan atau rasa sakit. Masokisme seksual melibatkan situasi mengikat atau menyakiti diri sendiri pada saat masturbasi atau berfantasi seksual.
7.      Sadisme seksual, adalah kepuasan seksual yang dihubungkan dengan menimbulkan penghinaan atau rasa sakit pada orang lain. Diagnosis klinis untuk sadisme seksual biasanya tidak diberikan, kecuali jika orang tersebut merasa tertekan akibat perilakunya atu tindakannya yang membahayakan diri sendiri atau orang lain.
8.      Transvestik fetishisme, adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang berhubungan dengan melibatkan memakai pakaian dari lawan jenisnya, dengan tujuan untuk mendapatkan rangsangan seksual. Transvestik fetishisme biasanya terjadi pada pria heteroseksual.
Di bawah ini ada beberapa faktor penyebab dari parafilia, antara lain:
1.      Perspektif teori belajar, stimulus yang tidak biasa menjadi stimulus terkondisi untuk rangsangan seksual akibat pemasangannya dengan aktivitas seksual di masa lalu, serta stimulus yang tidak biasa dapat menjadi erotis dengan cara melibatkannya dalam fantasi erotis dan masturbasi.
2.      Perspektif psikodinamika, kecemasan kastrasi yang tidak terselesaikan dari masa kanak-kanak yang menyebabkan rangsangan seksual dipindahkan pada objek atau aktivitas yang lebih aman.
3.      Perspektif multifaktor, penganiayaan seksual atau fisik pada masa kanak-kanak dapat merusak pola rangsangan seksual yang normal.
Beikut ini ada beberapa pendekatan penanganan untuk penderita parafilia, diantaranya:
1.      Penanganan biomedik, menggunakan antidepresan untuk membantu individu dapat mengontrol dorongan seksual yang menyimpang atau mengurangi dorongan seksual.
2.      Terapi kognitif-behavioral, memasangkan stimulus menyimpang dengan stimulus aversif,  memasangkan perilaku yang tidak diharapkan dengan stimulus aversif dalam imajinasi, dan metode nonaversif yang membantu individu untuk mencapai perilaku yang lebih adaptif.
C. Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual meliputi masalah dalam minat, rangsangan, atau respons seksual. Berikut ini ada beberapa ciri-ciri umum dari disfungsi seksual, antara lain:
1.      Takut akan kegagalan, ketakutan yang terkait dengan kegagalan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi atau kegagalan untuk mencapai orgasme.
2.      Asumsi peran sebagai penonton dan bukan sebagai pelaku, memonitor dan mengevaluasi tubuh saat melakukan hubungan seks.
3.      Kurangnya self-esteem, kurangi pemikiran tentang kegagalan yang dihadapi untuk memenuhi standar normal.
4.      Efek emosional, rasa bersalah, rasa malu, frustasi, depresi, dan kecemasan.
5.      Perilaku menghindar, menghindari kontak seksual karena takut gagal untuk menampilkan performa yang adekuat, membuat berbagai macam alasan pada pasangannya masing-masing.
Siklus Respons Seksual
DSM menjabarkan siklus respons seksual ke dalam 4 fase, yaitu:
1.      Fase keinginan, melibatkan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual.
2.      Fase perangsangan, melibatkan perubahan fisik dan perasaan nikmat yang muncul saat proses rangsangan seksual. Dalam proses ini, detak jantung, pernapasan, dan tekanan darah meningkat.
3.      Fase orgasme, tegangan seksual mencapai puncaknya dan dilepaskan melalui kontraksi ritmik involunter dari oto pelvis disertai dengan perasaan nikmat.
4.      Fase resolusi, fase dimana terjadinya relaksasi dan perasaan nyaman.
Jenis-Jenis Disfungsi Seksual
1.      Gangguan hasrat seksual, merupakan gangguan dalam nafas sesksual atau suatu keengganan terhadap aktivitas seksual genital. Orang dengan gangguan seksual hipoaktif  tidak atau kurang memiliki minat atau hasrat seksual, hal ini terjadi karena kurangnya atau tidak adanya fantasi seksual. Sedangkan, orang dengan gangguan seksual aversi memiliki keengganan yang kuat pada kontak seksual genital dan menghindari semua atau hampir semua kontak genital dengan pasangannya.
2.      Gangguan rangsangan seksual, adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan respons fisiologis yang terkait dengan rangsangan seksual  (lubrikasi vagina pada wanita atau ereksi penis pada pria) yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas seksual. Diagnosis gangguan rangsangan seksual pada wanita dan gangguan ereksi pada pria diberikan bila terdapat masalah yang terus ada dan berulang untuk dapat terangsang secara genital.
3.      Gangguan orgasme, adalah suatu refleks involunter yang menghasilkan kontraksi ritmik dari otot pelvis dan biasanya disertai dengan perasaan nikmat yang kuat. Ada 3 jenis spesifik dari gangguan orgasme, yaitu:
a)      Gangguan orgasme wanita, yaitu disfungsi seksual pada wanita yang melibatkan kesulitan mencapai orgasme atau ketidakmampuan untuk mencapai orgasme setelah  adanya hasrat dan rangsangan seksual dalam tingkatan yang normal.
b)      Gangguan orgasme pria, yaitu disfungsi seksual pada pria yang melibatkan kesulitan mencapai orgasme setelah melalui suatu pola normal dari hasrat dan rangsangan seksual.
c)      Ejakulasi dini, yaitu disfungsi seksual pada pria yang ditandai oleh terjadinya ejakulasi setelah diberikan stimulasi seksual yang minim.
4.      Gangguan nyeri seksual, saat melakukan hubungan seksual selalu dihubungkan dengan sakit/nyeri yang berulang pada daerah sekitar genital. Gangguan nyeri ini tidak bisa dijelaskan secara medis, karena beberapa ahli menduga bahwa gangguan nyeri berhubngan dengan kondisi psikologis.
Berikut ini ada beberapa faktor penyebab dari adanya disfungsi seksual yang dialami oleh seseorang, antara lain:
1.      Faktor biologis, penyakit atau kurangnya produksi hormon seks dapat mengganggu hasrat, rangsangan, atau respons seksual.
2.      Faktor psikodinamika, bahwa konflik tak sadar yang berasal dari masa kanak-kanak dapat menjadi akar permasalahan dalam merespons rangsangan seksual.
3.      Faktor psikososial, diantaranya:
a)      Kecemasan akan performa muncul dari kepedulian yang berlebihan terhadap kemampuan seseorang untuk memberikan performa seksual yang baik,
b)      Riwayat trauma atau penganiayaan seksual,
c)      Kurangnya kesempatan untuk mendapatkan keterampilan seksual, dan
d)      Pemaparan terhadap sikap dan kepercayaan negatif tentang seksualitas terutama seksualitas wanita.
4.      Faktor kognitif, diantaranya:
a)      Pengadopsian kepercayaan irasional dapat menyebabkan kecemasan akan performa,
b)      Pada ejakulasi dini, gagal untuk mengatur peningkatan level tegangan seksual yang menyebabkan ejakulasi, dan
c)      Pengaruh kognisi dapat menghambat respons seksual yang normal.
5.      Faktor hubungan, masalah hubungan dan kegagalan untuk mengomunikasikan kebutuhan seksual.
Berikut ini ada beberapa pendekatan penanganan untuk mengatasi masalah disfungsi seksual, antara lain:
1.      Penanganan biomedis, melibatkan penggunaan obat-obatan untuk menangani disfungsi ereksi atau ejakulasi dini.
2.      Terapi kognitif-behavioral, terapi seks yaitu teknik kognitif-behavioral singkat yang membantu individu dan pasangan untuk mengembangkan hubungan seksual yang lebih memuaskan dan mengurangi kecemasan akan performa.

REFERENSI
Nevid S, Jeffrey., Spencer A Rathus ., dan Beverly Greeny. 2005. Psikologi 
              Abnormal Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar