PENGARUH BUDAYA DALAM PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN MANUSIA
A.
Hakekat
Manusia
“Manusia adalah
suatu dinamika” (Adhiputra, 2013:32). Dinamika ini tidak pernah berhenti,
melainkan tetap aktif. Dinamika manusia inilah yang memadukan manusia dengan
sesamanya dan dengan dunia lingkungannya. Dinamika ini akan tetap berkembang
selama masa hidupnya. Dalam era
globalisasi, manusia Indonesia yang dibutuhkan menurut Surya (dalam Adhiputra,
2013:32) adalah “manusia yang berkualitas lepas landas yang modern dan berjiwa
generasi jaguar”. Menurut Kuntjaraningrat (dalam Adhiputra, 2013:32), manusia
lepas landas itu mempunyai 5 karakteristik mental yakni:
1.
Berorientasi
terhadap pandangan hidup yang bersifat positif dam aktif, serta wajib
menentukan dirinya sendiri.
2.
Mementingkan
kepuasan dari pekerjaan yang dilakukannya atau mutu hasil pekerjaannya.
3.
Berorientasi
ke masa depan, belajar merencanakan hidupnya secermat mungkin sambil membuat
perhitungan kemungkinan terjadinya hal-hal yang
kurang mendukungkan di masa depan, sehingga terdorong untuk menyisihkan
sebagian dari pendapatnya untuk hal itu.
4.
Sejak
kecil diajarkan dan dilatih untuk mencapai keselarasan dengan alam
sekelilingnya sehingga mendorong tumbuhnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
5.
Berpegang
teguh pada aspek-aspek positif gotong royong dengan cara menghindari
aspek-aspek negatifnya.
Secara
fisik-biologis, manusia sama saja dengan hewan, dilahirkan dengan kelengkapan
organ tubuh yang menjadi bagian dirinya di tengah-tengah alam lingkungan yang
sama dengan apa yang dialami makhluk hidup lainnya. Meskipun demikian, manusia
tidak terperangkap oleh hal-hal yang alamiah saja. Manusia baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat mampu melepaskan diri dari
keterbatasan-keterbatasan, baik itu keterbatasan nalurinya maupun keterbatasan
fisik biologisnya. Manusia mampu meninggalkan keterbatasan menjadi peluang yang
mempertinggi derajatnya sebagai makhluk hidup yang berbeda dengan makhluk hidup
lainnya. Manusia adalah makhluk dengan akal pikiran dan kemampuan
intelektualnya. Perkembangan dan pengembangan akal pikiran manusia menghasilkan
apa yang kita sebut dengan kebudayaan.
B.
Hakekat
Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia
Matsumoto
(2004:7) mengatakan bahwa “budaya merupakan suatu konstruk
individual-psikologis sekaligus konstruk sosial-makro”. Artinya, sampai batas
tertentu budaya ada di dalam setiap dan masing-masing diri kita secara
individual sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global. Perbedaan
individual dalam budaya bisa diamati pada orang-orang dari satu budaya sampai
batas dimana mereka mengadopsi dan terlibat dalam sikap, nilai, keyakinan, dan
perilaku-perilaku yang berdasarkan konsensus/kesepakatan yang membentuk budaya
mereka. Bila Anda bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan perilaku-perilaku
tertentu, maka budaya tersebut akan hadir dalam diri Anda, sedangkan bila Anda
tidak memiliki nilai atau perilaku-perilaku tersebut, maka Anda tidak termasuk
dalam budaya itu.
1.
Pengaruh Budaya pada Komunikasi
Menurut
Dayakisni dan Yuniardi (2004:238) “komunikasi adalah proses menyampaikan pesan
atau makna dari pengirim kepada penerima”. Setiap budaya akan memiliki
aturan-aturan bagaimana cara anggota-anggotanya untuk melakukan komunikasi baik
secara verbal maupun non verbal.
a) Gaya
komunikasi verbal secara lintas budaya
Hall (dalam Dayakisni dan Yuniardi,
2004:238) mengemukakan bahwa “context
memainkan peranan kunci dalam menjelaskan beberapa perbedaan komunikasi”. Context adalah informasi yang
mengelilingi suatu komunikasi dan membantu penyampaian pesan. Berdasarkan hal
itu, Hall menyatakan bahwa penggunaan bahasa dalam budaya-budaya yang berbeda
dapat diklasifikasikan sebagai high
context atau low context. Pada
budaya low context pembicaraan yang
terjadi bersifat eksplisit dan pesan-pesan yang disampaikan sebagian besar
diwakili oleh kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya dalam budaya high context pesan disampaikan secara implisit dan
kata-kata yang diucapkan hanya mewakili sebagian kecil dari pesan tersebut.
b) Budaya
dan komunikasi non verbal
Menurut Dayakisni dan Yuniardi
(2004:244) “komunikasi non verbal adalah transfer makna melalui alat-alat
seperti bahasa tubuh dan penggunaan ruang fisik”. Dengan demikian ekspresi
wajah, gerakan tubuh, sikap badan, kontak mata, dan suara bahkan pengunaan
ruang dan jarak interpersonal, penggunaan waktu, tipe pakaian yang dipakai, dan
desain arsitektur yang kita gunakan adalah perilaku-perilaku yang termasuk
dalam perilaku non verbal. Menurut Ekman dan Friesen (dalam Dayakisni dan
Yuniardi, 2004:245) perilaku-perilaku non verbal dapat diklasifikasikan menjadi
5 kategori, yaitu:
1)
Illustrator, yaitu perilaku nonverbal yang
digunakan untuk memperjelas aspek dari kata-kata yang kita ucapkan.
2)
Adaptors/manipulators, adalah perilaku non verbal yang
kita kelola untuk membantu tubuh kita beradaptasi terhadap lingkungan disekitar
kita.
3)
Emblems, adalah perilaku nonverbal yang
menyampaikan suatu pesan melalui diri mereka sendiri.
4)
Emotions, adalah pesan yang disampaikan
melalui perilaku nonverbal.
5)
Regulators, adalah perilaku non verbal
yang kita kelola untuk mengatur arus bicara selama percakapan.
Berikut ini terdapat beberapa
perbedaan perilaku non verbal secara lintas budaya:
1) Telaah
lintas budaya tentang kinesics
Kinesics
ialah studi tentang komunikasi melalui gerakan tubuh dan ekspresii wajah. Area
pertama adalah komunikasi melalui kontak mata dan kedipan mata.
2) Gestures
(gerakan bagian-bagian tubuh)
Gestures
juga sering digunakan dalam komunikasi dan bentuknya dapat berbeda-beda antar
budaya. Beberapa budaya menekankan perbedaan dalam menggunakan gestures sebagai illustrator. Kebanyakan
budaya memiliki sistem gerakan tangan yang menjadi penyampai pesan atau makna
tertentu.
3) Chromatics
Chromatics
adalah penggunaan warna untuk mengkomunikasikan pesan. Contohnya di Amerika
orang memakai pakaian hitam ketika dalam berkabung.
4) Ruang
antar pribadi dan penggunaan jarak
Ruang adalah dimensi perilaku non
verbal lain yang sangat penting. Kita menggunakan ruang untuk mengirimkan pesan
penting mengenai status kekuasaan, dan dominansi. Hal ini disebabkan orang-orang
yang melakukan suatu interaksi akan menggunakan ruang ini sama dengan ruang
yang secara pribadi mereka miliki.
2.
Pengaruh Budaya pada Gender
Menurut
Dayakisni dan Yuniardi (2004:253) “gender merupakan hasil konstruksi yang
berkembang selama masa anak-anak sebagaimana mereka disosialisasikan dalam
lingkungan mereka”. Adanya perbedaan reproduksi dan biologis mengarahkan pada
pembagian kerja yang berbeda antara pria dan wanita dalam keluarga.
Perbedaan-perbedaan ini pada gilirannya mengakibatkan perbedaan ciri-ciri sifat
dan karakteristik psikologis yang berbeda antara pria dan wanita. Berry dkk (dalam
Dayakisni dan Yuniardi, 2004:253) “mengajukan suatu kerangka berfikir untuk
menggambarkan bagaimana praktek budaya dapat memperngaruhi perbedaan gender
dalam karakteristik psikologis”. Sebagai konsekuensinya, budaya yang berbeda
akan memberikan hasil yang berbeda pula. Satu budaya mungkin mendukung kesamaan
antara pria dan wanita, namun budaya lainnya tidak mendukung kesamaan tersebut.
Dengan demikian budaya mendifinisikan atau memberikan batasan mengenai peran,
kewajiban, dan tanggung jawab yang cocok bagi pria dan wanita.
3. Pengaruh
Budaya pada Persepsi
“Persepsi merupakan suatu proses konstruksi
maupun proses menyusun keeping-keping informasi agar menjadi
bermakna”(Matsumoto, 2004:75). Karena merupakan suatu konstruksi, persepsi kita
pelajari seiring dengan perkembangan kita sejak lahir, masa anak-anak, remaja,
dan masa dewasa. Karena ia dipelajari, maka persepsi bisa dibentuk, diubah, dan
dipengaruhi oleh kebudayaan dimana kita dibesarkan. Maka dari itu, cara kita
mempersepsi dunia sekeliling kita, terutama bagi kita orang dewasa akan
dipengaruhi oleh bagaimana budaya membantu kita mempelajari cara mengkonstruksi
makna dan pemahaman dari informasi sensorik yang kita terima lewat
indera-indera kita. Akan tetapi, tampaknya jelas bahwa meski persepsi dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya termasuk usia, pematangan lingkungan, namun
situasi/latar belakang kebudayaan tetap merupakan penentu yang berpengaruh
dalam persepsi kita terhadap dunia.
4. Pengaruh
Budaya pada Perkembangan Kognitif dan Inteligensi
Matsumoto (2004:174) “terdapat
perbedaan dalam bagaimana budaya mendefinisikan perkembangan kognitif dan
inteligensi”. Bagaimana suatu budaya mendefinisikan apa yang disebut cerdas
barangkali tidak sama dengan bagaimana budaya lain mendefinisikan inteligensi.
Oleh sebab itu, tanda-tanda atau perilaku yang secara tipikal dipakai untuk
mengukur inteligensi akan berbeda-beda dari satu budaya ke budaya yang lain. Mempertunjukkan
keterampilan, bakat, atau kemampuan dalam suatu tugas, mengajukan pertanyaan
atau suatu aktivitas mungkin dianggap baik diberbagai budaya. Namun perilaku
yang sama bisa memicu emosi negatif pada beberapa budaya lain karena dianggap
tak sopan, arogan, tak pantas, atau tidak dewasa.
5. Pengaruh
Budaya pada Perilaku Manusia
Perilaku-perilaku manusia satu
dengan yang lainnya sangat terkait erat dengan budaya yang mereka anut. “Ketika
berinteraksi dengan orang dari budaya lain di seluruh dunia, baik saat kita
bepergian atau sebaliknya, kita akan menghadapi berbagai cara budaya mewujudkan
dirinya melalui perilaku” (Matsumoto, 2004:264). Dengan meningkatnya pemahaman
kita tentang perwujudan-perwujudan ini, kita akan semakin menghargai pentingnya
peran budaya, tidak hanya akan memberi kita rambu-rambu dalam hidup, tapi juga
dalam membantu kita menemukan jalan untuk bertahan hidup. Kenyataannya, budaya
menyediakan bagi kita aturan-aturan yang memastikan berlangsungnya hidup dengan
asumsi bahwa sumber daya hidup masih tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Adhiputra,
Ngurah A. 2013. Konseling Lintas Budaya.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dayakisni, Tri,
Et Al. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: Umm Press.
Matsumoto,
David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar